Beranda

Minggu, 19 Mei 2013

Menumbuhkan Kepatuhan Tanpa Syarat



Bunda, apakah masih ingat dongeng Malin Kundang, legenda Batu Belah, atau legenda Asal Mula Terjadinya Danau Toba? Walaupun beragam, dongeng-dongeng tadi memiliki kesamaan tema, yaitu anak yang durhaka kepada orang tua, anak yang tidak patuh kepada orang tua. Ketika mereka tidak mematuhi nasehat orang tuanya, maka mereka pun menuai akibatnya. Walaupun sangat fiktif dan imajinatif, dongeng-dongeng ini masih mengandung pesan moral yang kuat. Saat kita mendengar dongeng ini pertama kalinya, kita meyakini bahwa kelakuan anak yang mengumpat orang tuanya dan tidak mengakui kedua orang tuanya itu hanyalah dongeng. Ya, dongengan saja!
Kini kita kerap mendengar berita tentang seorang anak menganiaya ibunya. Ia tega melakukannya karena tidak dipenuhi keinginannya, bahkan ada yang tega membunuh ibu atau ayah kandungnya. Rupanya batas penghormatan dan ketaatan anak kepada orang tua mulai kabur. Jika demikian, siapa yang salah?
O…ow, stop!!! Tunggu dulu!!!
Memang secara kasat mata yang salah adalah sang anak. Akan tetapi bila dirunut ke belakang, tidak selamanya seorang anak yang durhaka kepada orang tuanya semata-mata kesalahan sang anak. Di sana ada andil peran orang tua dalam membentuk karakter sang anak. Orang tua sering tidak menyadari bahwa mereka telah membentuk sikap durhaka kepada anak-anak mereka sendiri. Mereka lupa bahwa anak durhaka adalah korban salah asuh di saat anak masih dalam usia dini.

Belajar dari Al-Qur’an
            Sebagai kitab yang diturunkan Allah SWT kepada Rasulullah Saw. Al-Qur’an memberi petunjuk kehidupan bagi manusia. Secara garis besar, manusia telah dituntun oleh Allah dalam mengarungi hidup ini. Salah satunya adalah tentang mendidik buah hati kita. Allah SWT memberi hikmah pendidikan yang besar dari Luqman kepada anak-anaknya. Dalam mendidik kepatuhannya, Luqman mengajarkan anak-anaknya agar terlebih dahulu mentaati Allah, sebagaimana firman-Nya:
“Hai anakku! Janganlah engkau sekutukan (sesuatu) dengan Allah, karena sesungguhnya syirik itu adalah penganiayaan (diri) yang besar (TQS. 31:13)
Setelah menanamkan ketaatan mutlak kepada Allah, barulah Luqman menyuruh anaknya untuk taat padanya. Itupun selama ketaatan kepada orang tua tidak bertentangan dengan ketaatan kepada Allah. Nukilan TQS. Luqman: 13-14 mengungkapkan ajaran Luqman ini kepada anaknya:
Hendaklah engkau bersyukur kepada-Ku dan ibu bapakmu. Kepada-Ku lah kembalimu. Dan jika mereka mengajarlan sungguh-sungguh untuk menyekutukan Aku dengan sesuatu yang engkau tidak mengerti tentangnya, maka janganlah engkau taati mereka. Tetapi bergaullah dalam urusan dunia dengan sopan.”
Dengan ditanamkannya ketaatan kepada Allah terlebih dahulu, maka buah hati kita terbiasa untuk taat kepada kita, baik saat kita (orang tua) ada atau tidak. Ibaratnya kita telah memberinya imunitas (kekebalan) dari pengaruh-pengaruh buruk. Mengapa demikian? Karena ia punya rasa taat kepada Allah yang selalu mengetahui perbuatannya. Kelak di akhirat Allah akan memberi reward yang tidak ternilai dan tidak ada tandinggannya di dunia, yaitu surga yang luasnya seluas langit dan bumi..
            Di ayat yang lain, yaitu  QS. Al Muzzammil ayat 2—5 yang terjemahnya berbunyi: “Bangunlah di malam hari (untuk Shalat), kecuali sedikit (daripadanya), setengahnya atau kurangilah sedikit dan bacalah Al-Qur’an secara tartil. Sesungguhnya Kami akan menurunkan kepadamu Qaulan Tsaqiila.”  Itulah janji Allah SWT bagi orang-orang yang melaksanakan shalat dan membaca Al_Qur’an dengan tartil di malam hari. Mereka dijanjikan mendapatkan ‘Qaulan Tsaqiila atau perkataan yang berat (berwibawa). ‘Qaulan Tsaqiila yang dimiliki Rasulullah Saw. Telah membuat kaumnya berbondong-bondong masuk Islam.
            Ketika perintah ayah bunda dianggap sepi oleh buah hati, didengar telinga kanan keluar telinga kiri bahkan masuk telinga kanan lalu keluar lagi J Sudahkah kewibawaan itu bunda (ayah) miliki?
            Alhamdulillah. Para bunda (dan ayah) pembaca setia Al-Athfal ternyata memang orang tua pilihan untuk membentuk generasi Rabbany: generasi cerdas, taat syariat. Jika ada yang belum, mari bersama menjadi orang tua yang punya ‘Qaulan Tsaqiila. InsyaAllah, nantinya tidak akan menemui kesukaran dalam memberi perintah kepada buah hati karena dari wajah ini akan terpancar cahaya bekas sujud di malam hari. Ucapan-ucapan yang terlontarpun akan penuh wibawa dan mempesona buah hati untuk mematuhinya.

Beri Penjelasan yang Bisa Dimengerti bukan Mendustainya
            Beri penjelasan ringan sebatas kemampuan buah hati, mengapa sesuatu hal diperintahkan sedang hal yang lain dilarang. Jangan sekali-kali memberi keterangan dusta dalam hal ini. Apabila anak berusia 2-4 tahun dilarang bermain di gang depan rumahnya, beri penjelasan. Misalnya,  bisa luka kalau ditabrak sepeda motor, kulitnya bisa berdarah kalau ditabrak kakak-kakak yang bermain sepeda. Daripada dusta disertai ancaman seperti, “Nanti ade dibawa pemulung trus dimasukkan ke dalam karungnya,” atau “Ada orang gila ngamuk.” Atau yang fatal akibatnya setelah besar nanti, misalnya, menakuti-nakuti dengan polisi, suntikan dokter padahal keberadaan dokter dan polisi akan sangat dia butuhkan kelak. Atau yang agak ekstrem menakutinya dengan hantu, pocong, tuyul. Ketakutan-ketakutan ini disistematis sejak kecil
            Aisyah ra. Menceritakan sebuah kisah, ketika Rasulullah saw. Bertemu dengan seorang wanita yang sedang membujuk anaknya dengan berkata, “Kemarilah Nak, nanti akan aku berikan kurma kepadamu.” Mendengar bujukan tersebut Rasulullah pun mengingatkan kepada si wanita, “Apakah benar engkau akan memberikan kurma kepada anak kecil itu? Jika tidak, cukuplah itu akan tercatat sebagai dusta bagimu.
            Jika pada awalnya anak terbujuk iming-iming itu, maka dia akan patuh. Namun setelah dia tahu bahwa iming-iming sekedar iming-iming (dibohongi), anak akan kehilangan kepercayaan kepada orang tua, dan ini dapaknya sangat buruk nantinya. Selain menjadi anak suka membangkang, dia juga akan mahir bersilat lidah (berbohong)

Perintah Sebatas Kemampuan
            Perintah yang di luar kesanggupan dan kemampuan anak, boleh jadi akan menyebabkan krisis syaraf dan buruk perangai. Perintah orang tua kepada anak berusia 3-4 tahun untuk selalu hadir di PAUD dari senin—sabtu, dengan jumlah siswa lebih dari 20, diasuh tutor yang berperangai keras dan suka memberi pe-er menulis, tentu tidak sesuai dengan kebutuhan psikologis anak yang sedang senang-senangnya bermain dan masih sangat bergantung kepada ibunya. Jika orang tua memaksakan kehendaknya, bisa jadi anak menurut, dengan resiko menumbuhkan antipati pada sekolah, atau anak akan membangkang dengan cara berbohong dan mengembangkan perangai buruk lainnya, misalnya menjadi anak yang “sangat aktif” sehingga menggangu jalannya pembelajaran.
            Terlebih jika bunda (ayah) mendidik terlalu ketat untuk tunduk secara buta (otoriter) kepada mereka, jika tidak dipatuhi salah satu dari bunda (ayah) akan mengomel panjang seperti kereta api, ini adalah kebiasaan buruk yang harus mulai dihindari. Memaksakan pendapat secara kasar kepada anak, bukan cara yang efektif untuk menumbuhkan kepatuhan. Perlakuan terlalu keras atau kasar dalam mendidik anak justru sama saja dengan mendidik lewat cara menyepelekannya.
            Untuk mengetahui sampai dimana batas kemampuan anak sesuai perkembangan usianya, memerlukan pengetahuan tersendiri. Bunda (ayah) memahami perkembangan anak ini bisa melalui buku tentang tumbuh kembang anak atau rutin menanyakan kepada ahlinya.

Seni Berkomunikasi dengan Buah Hati
            Boy will be boy! Anak-anak tetaplah anak-anak dengan segala tingkah polahnya yang kadang menggelikan, konyol, bahkan menyebalkan. Mereka memiliki keunikan. Mereka adalah manusia kecil yang belum sempurna akalnya (proses berpikirnya). Jika kita hendak berbicara dengan mereka, selamilah pribadinya, nalurinya, akhirnya kita akan bisa berempati padanya. 

            Konsisten (istiqamah) sangat diperlukan dalam menetapkan dan menjalankan aturan. Bila aturannya berubah-ubah, atau menerapkan aturan tanpa pertimbangan matang, maka bisa menyebabkan anak berjiwa tegang penuh kebimbangan dan melunturkan rasa kepercayaan terhadap kedua orang tuanya. Bunda tidak boleh cepat mengalah menghadapi rengek tangis anak. Usahakan tidak meladeni kemauan anak selama tidak ada alas an yang bias ditoleransi. InsyaAllah, lama-kelamaan anak akan sadar bahwa ia tidak bisa menggunakan senjata tangis untuk merayu ibunya.

           



Kamis, 09 Mei 2013

Sabar terhadap Qadha

Sabar dan Ridha Terhadap Qadha’

Sabar dan ridha terhadap qadha’ (ketetapan) Allah SWT adalah di antara sikap teragung yang harus dimiliki seorang Mukmin. Rasulullah SAW bersabda, sebagaimana dituturkan oleh Amr bin Saad bin Abi Waqash dari ayahnya, “Saya kagum terhadap orang Mukmin. Jika kebaikan menimpa dirinya, dia memuji Allah dan bersyukur. Jika musibah menimpa dirinya, ia tetap memuji Allah dan bersabar. Karena itulah seorang Mukmin akan diberi pahala pada setiap perkara apapun yang menimpa dirinya.” (HR Ahmad, Abdurrazzaq, ath-Thabrani).
Anas bin Malik ra juga berkata, “Kami pernah duduk-duduk bersama Rasulullah saw. Beliau tiba-tiba tertawa dan berkata, “Tahukah kalian mengapa saya tertawa?” Para Sahabat berkata, “Allah dan Rasul-Nya tentu lebih tahu.” Beliau kemudian bersabda, “Saya kagum terhadap seorang Mukmin. Sesungguhnya Allah SWT tidak menetapkan suatu qadha’ atas dirinya melainkan hal demikian adalah baik bagi dirinya.” (HR Ahmad).
Tentu saja, seorang Mukmin sejatinya bersikap sabar dan ridha terhadap apa pun ketetapan (qadha’) Allah SWT. Terkait hal ini, ada riwayat bahwa seorang laki-laki dari kaum Anshar berkata bahwa pernah ditanyakan kepada Aisyah, “Apa yang banyak dikatakan oleh Rasulullah SAW di rumahnya jika beliau sendirian?” Aisyah ra berkata, “Yang paling banyak beliau ucapkan saat sendirian di rumahnya adalah, ‘Perkara apa pun yang Allah tetapkan pasti bakal terjadi.” (HR Ibn Abi ad-Dunya’).
Salah satu tanda seseorang ridha terhadap qadha’ Allah SWT adalah dia akan selalu sabar. Ini sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Musya al-‘Asy’ari ra yang pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Sabar itu adalah bentuk keridhaan.” (HR Ibn Abi ad-Dunya’).
Selain itu, Muhammad bin Muslim menuturkan bahwa seseorang pernah datang kepada Rasulullah SAW. Ia lalu berkata, “Wahai Rasulullah, berilah aku wasiat/nasihat, tak perlu banyak-banyak, “Jangan kamu mencela Allah terkait dengan apapun yang telah Dia tetapkan untuk kamu.” (HR Ahmad dan al-Baihaqi).
Kemudian, terkait firman Allah SWT (yang artinya): Siapa saya yang beriman kepada Allah, Allah pasti akan memberikan petunjuk kepada kalbunya (TQS At-Taghabun: 11), ‘Alqamah berkata, “(Di antaranya) terkait dengan musibah yang menimpa seorang Mukmin. Kemudian dia menyadari bahwa itu semata-mata datang dari sisi Allah. Karena itu ia menerima musibah itu dengan sikap pasrah dan ridha.” (HR Ibn Abi ad-Dunya’).
Seorang Mukmin yang ridha terhadap qadha’ Allah SWT akan merasakan ketentraman dan tidak mudah galau. Dalam hal ini, Abdul Wahid bin Zaid berkata, “Ridha adalah pintu Allah teragung, surga dunia dan ‘ketentraman’ para ahli ibadah.” (Ibn Abi ad-Dunya’).
Selain itu, sikap ridha terhadap qadha’ Allah SWT akan mendatangkan pahala dan sebaliknya. Terkait ini, suatu ketika Ali bin Abi Thalib ra pernah melihat Adi bin Hatim tampak muram dan sedih. Karena itu beliau bertanya, “Mengapa, saya lihat, engkau tampak muram dan sedih?” Adi bin Hatim balik bertanya, “Apakah tidak boleh saya mencucurkan air mata, sementara anak saya benar-benar telah terbunuh.” Ali bin Abi Thalib kemudian berkata, “Wahai Adi, ingatlah sesungguhnya siapa saja yang ridha terhadap qadha’ Allah yang menimpa dirinya, dia akan mendapatkan pahala; dan siapa saja yang tidak ridha terhadap qadha’ Allah yang menimpa dirinya maka terhapuslah amal-amalnya.” (HR Ibn Abi ad-Dunya).
Lalu bagaimana supaya kita dapat selalu ridha terhadap qadha’ Allah SWT? Tidak lain dengan meninggalkan syahwat. Demikianlah sebagaimana dituturkan oleh Ahmad bin Abi al-Hawari bahwa Abu Sulaiman pernah berkata, “Jika seorang hamba mampu meninggalkan syahwatnya maka dia akan menjadi orang yang ridha.” (Ibn Abi ad-Dunya’, Ash-Shabr wa ar-Ridha, I/50).
Sikap ridha terhadap qadha’ Allah SWT juga bisa ditunjukkan dengan tidak banyak berangan-angan. Hafs bin Humaid bercerita bahwa ia pernah bersama-sama Abdullah bin al-Mubarak di Kufah saat putrinya meninggal. Ia lalu bertanya, “Apa itu ridha?” Abdullah bin al-Mubarak menjawab, “Ridha adalah tidak mengangan-angankan sesuatu yang berbeda dengan keadaannya.” (Ibn Abi ad-Dunya’, Ash-Shabr wa ar-Ridha, I/51).
Sikap ridha terhadap qadha’ Allah SWT ditunjukkan secara jelas oleh sikap Umar bin al-Khaththab ra yang pernah berkata, “Tak masalah bagiku apapun kondisi yang terjadi, baik yang aku sukai ataupun yang tidak aku sukai. Sebab sesungguhnya aku tidak tahu apakah kebaikan itu ada dalam perkara yang aku sukai atau yang tidak aku sukai?” (Ibn Abi ad-Dunya’, Ash-Shabr wa ar-Ridha’, I/54).
Semoga kita bisa menjadi orang yang senantiasa sabar dan ridha terhadap apapun yang telah menjadi qadha’ Allah SWT. Amin. [] abi