Bunda, apakah
masih ingat dongeng Malin Kundang, legenda Batu Belah, atau legenda Asal Mula
Terjadinya Danau Toba? Walaupun beragam, dongeng-dongeng tadi memiliki kesamaan
tema, yaitu anak yang durhaka kepada orang tua, anak yang tidak patuh kepada
orang tua. Ketika mereka tidak mematuhi nasehat orang tuanya, maka mereka pun
menuai akibatnya. Walaupun sangat fiktif dan imajinatif, dongeng-dongeng ini
masih mengandung pesan moral yang kuat. Saat kita mendengar dongeng ini pertama
kalinya, kita meyakini bahwa kelakuan anak yang mengumpat orang tuanya dan
tidak mengakui kedua orang tuanya itu hanyalah dongeng. Ya, dongengan saja!
Kini kita
kerap mendengar berita tentang seorang anak menganiaya ibunya. Ia tega
melakukannya karena tidak dipenuhi keinginannya, bahkan ada yang tega membunuh
ibu atau ayah kandungnya. Rupanya batas penghormatan dan ketaatan anak kepada
orang tua mulai kabur. Jika demikian, siapa yang salah?
O…ow, stop!!!
Tunggu dulu!!!
Memang secara
kasat mata yang salah adalah sang anak. Akan tetapi bila dirunut ke belakang, tidak
selamanya seorang anak yang durhaka kepada orang tuanya semata-mata kesalahan
sang anak. Di sana
ada andil peran orang tua dalam membentuk karakter sang anak. Orang tua sering
tidak menyadari bahwa mereka telah membentuk sikap durhaka kepada anak-anak
mereka sendiri. Mereka lupa bahwa anak durhaka adalah korban salah asuh di saat
anak masih dalam usia dini.
Belajar
dari Al-Qur’an
Sebagai kitab yang diturunkan Allah
SWT kepada Rasulullah Saw. Al-Qur’an memberi petunjuk kehidupan bagi manusia.
Secara garis besar, manusia telah dituntun oleh Allah dalam mengarungi hidup
ini. Salah satunya adalah tentang mendidik buah hati kita. Allah SWT memberi hikmah
pendidikan yang besar dari Luqman kepada anak-anaknya. Dalam mendidik kepatuhannya,
Luqman mengajarkan anak-anaknya agar terlebih dahulu mentaati Allah,
sebagaimana firman-Nya:
“Hai anakku! Janganlah engkau sekutukan (sesuatu)
dengan Allah, karena sesungguhnya syirik itu adalah penganiayaan (diri) yang
besar (TQS. 31:13)
Setelah
menanamkan ketaatan mutlak kepada Allah, barulah Luqman menyuruh anaknya untuk
taat padanya. Itupun selama ketaatan kepada orang tua tidak bertentangan dengan
ketaatan kepada Allah. Nukilan TQS. Luqman: 13-14 mengungkapkan ajaran Luqman
ini kepada anaknya:
“Hendaklah engkau bersyukur kepada-Ku dan ibu
bapakmu. Kepada-Ku lah kembalimu. Dan jika mereka mengajarlan sungguh-sungguh
untuk menyekutukan Aku dengan sesuatu yang engkau tidak mengerti tentangnya,
maka janganlah engkau taati mereka. Tetapi bergaullah dalam urusan dunia dengan
sopan.”
Dengan
ditanamkannya ketaatan kepada Allah terlebih dahulu, maka buah hati kita
terbiasa untuk taat kepada kita, baik saat kita (orang tua) ada atau tidak. Ibaratnya
kita telah memberinya imunitas (kekebalan) dari pengaruh-pengaruh buruk. Mengapa demikian? Karena ia punya
rasa taat kepada Allah yang selalu mengetahui perbuatannya. Kelak di akhirat Allah
akan memberi reward yang tidak
ternilai dan tidak ada tandinggannya di dunia, yaitu surga yang luasnya seluas
langit dan bumi..
Di ayat yang lain, yaitu QS. Al Muzzammil ayat 2—5 yang terjemahnya
berbunyi: “Bangunlah di malam hari (untuk
Shalat), kecuali sedikit (daripadanya), setengahnya atau kurangilah sedikit dan bacalah Al-Qur’an
secara tartil. Sesungguhnya Kami akan menurunkan kepadamu Qaulan Tsaqiila.”
Itulah janji Allah SWT bagi orang-orang yang melaksanakan shalat dan
membaca Al_Qur’an dengan tartil di malam hari. Mereka dijanjikan mendapatkan ‘Qaulan Tsaqiila atau perkataan yang
berat (berwibawa). ‘Qaulan Tsaqiila
yang dimiliki Rasulullah Saw. Telah membuat kaumnya berbondong-bondong masuk
Islam.
Ketika perintah ayah bunda dianggap
sepi oleh buah hati, didengar telinga kanan keluar telinga kiri bahkan masuk
telinga kanan lalu keluar lagi J Sudahkah kewibawaan itu bunda (ayah)
miliki?
Alhamdulillah. Para
bunda (dan ayah) pembaca setia Al-Athfal ternyata memang orang tua pilihan
untuk membentuk generasi Rabbany: generasi cerdas, taat syariat. Jika ada yang
belum, mari bersama menjadi orang tua yang punya ‘Qaulan Tsaqiila. InsyaAllah,
nantinya tidak akan menemui kesukaran dalam memberi perintah kepada buah hati
karena dari wajah ini akan terpancar cahaya bekas sujud di malam hari.
Ucapan-ucapan yang terlontarpun akan penuh wibawa dan mempesona buah hati untuk
mematuhinya.
Beri Penjelasan yang
Bisa Dimengerti bukan Mendustainya
Beri penjelasan ringan sebatas kemampuan
buah hati, mengapa sesuatu hal diperintahkan sedang hal yang lain dilarang.
Jangan sekali-kali memberi keterangan dusta dalam hal ini. Apabila anak berusia
2-4 tahun dilarang bermain di gang depan rumahnya, beri penjelasan. Misalnya, bisa luka kalau ditabrak sepeda motor,
kulitnya bisa berdarah kalau ditabrak kakak-kakak yang bermain sepeda. Daripada
dusta disertai ancaman seperti, “Nanti ade dibawa pemulung trus dimasukkan ke
dalam karungnya,” atau “Ada
orang gila ngamuk.” Atau yang fatal akibatnya setelah besar nanti, misalnya,
menakuti-nakuti dengan polisi, suntikan dokter padahal keberadaan dokter dan
polisi akan sangat dia butuhkan kelak. Atau yang agak ekstrem menakutinya
dengan hantu, pocong, tuyul. Ketakutan-ketakutan ini disistematis sejak kecil
Aisyah ra. Menceritakan sebuah
kisah, ketika Rasulullah saw. Bertemu dengan seorang wanita yang sedang
membujuk anaknya dengan berkata, “Kemarilah Nak, nanti akan aku berikan kurma
kepadamu.” Mendengar bujukan tersebut Rasulullah pun mengingatkan kepada si
wanita, “Apakah benar engkau akan memberikan kurma kepada anak kecil itu? Jika
tidak, cukuplah itu akan tercatat sebagai dusta bagimu.
Jika pada awalnya anak terbujuk
iming-iming itu, maka dia akan patuh. Namun setelah dia tahu bahwa iming-iming
sekedar iming-iming (dibohongi), anak akan kehilangan kepercayaan kepada orang
tua, dan ini dapaknya sangat buruk nantinya. Selain menjadi anak suka
membangkang, dia juga akan mahir bersilat lidah (berbohong)
Perintah Sebatas
Kemampuan
Perintah yang di luar kesanggupan dan kemampuan anak, boleh
jadi akan menyebabkan krisis syaraf dan buruk perangai. Perintah orang tua
kepada anak berusia 3-4 tahun untuk selalu hadir di PAUD dari senin—sabtu,
dengan jumlah siswa lebih dari 20, diasuh tutor yang berperangai keras dan suka
memberi pe-er menulis, tentu tidak sesuai dengan kebutuhan psikologis anak yang
sedang senang-senangnya bermain dan masih sangat bergantung kepada ibunya. Jika
orang tua memaksakan kehendaknya, bisa jadi anak menurut, dengan resiko
menumbuhkan antipati pada sekolah, atau anak akan membangkang dengan cara
berbohong dan mengembangkan perangai buruk lainnya, misalnya menjadi anak yang
“sangat aktif” sehingga menggangu jalannya pembelajaran.
Terlebih jika bunda (ayah) mendidik
terlalu ketat untuk tunduk secara buta (otoriter) kepada mereka, jika tidak
dipatuhi salah satu dari bunda (ayah) akan mengomel panjang seperti kereta api,
ini adalah kebiasaan buruk yang harus mulai dihindari. Memaksakan pendapat
secara kasar kepada anak, bukan cara yang efektif untuk menumbuhkan kepatuhan.
Perlakuan terlalu keras atau kasar dalam mendidik anak justru sama saja dengan
mendidik lewat cara menyepelekannya.
Untuk mengetahui sampai dimana batas
kemampuan anak sesuai perkembangan usianya, memerlukan pengetahuan tersendiri. Bunda
(ayah) memahami perkembangan anak ini bisa melalui buku tentang tumbuh kembang
anak atau rutin menanyakan kepada ahlinya.
Seni Berkomunikasi dengan Buah Hati
Boy will be boy! Anak-anak tetaplah
anak-anak dengan segala tingkah polahnya yang kadang menggelikan, konyol,
bahkan menyebalkan. Mereka memiliki keunikan. Mereka adalah manusia kecil yang
belum sempurna akalnya (proses berpikirnya). Jika kita hendak berbicara dengan
mereka, selamilah pribadinya, nalurinya, akhirnya kita akan bisa berempati
padanya.
Konsisten (istiqamah) sangat diperlukan dalam
menetapkan dan menjalankan aturan. Bila aturannya berubah-ubah, atau menerapkan
aturan tanpa pertimbangan matang, maka bisa menyebabkan anak berjiwa tegang
penuh kebimbangan dan melunturkan rasa kepercayaan terhadap kedua orang tuanya.
Bunda tidak boleh cepat mengalah menghadapi rengek tangis anak. Usahakan tidak
meladeni kemauan anak selama tidak ada alas an yang bias ditoleransi.
InsyaAllah, lama-kelamaan anak akan sadar bahwa ia tidak bisa menggunakan
senjata tangis untuk merayu ibunya.