Beranda

Selasa, 26 Februari 2013

Husnudzon pada Buah Hati


Aldo, bocah 4 tahun yang superaktif itu asyik berlari kesana kemari mengitari ruangan. Tangannya terulur ke depan mirip Superman. Sesekali dia berhenti untuk menghadapi ‘lawannya’. Hiaat…hiiaaat! Berikutnya dia berlari lagi ke ruang dalam. Ups, ternyata dia menemukan taplak meja. Oh…hoo, taplak itu diikatkan ke lehernya, jadilah Superman.
Tentu saja, ulahnya itu membuat malu dan jengkel ibunya yang sedang bertamu ke rumah Bu Iffah. Mulanya sang ibu membiarkan Aldo bebas bertingkah, tetapi sekarang tidak. Suara Aldo sudah cukup mengganggu perbincangan ibu dan tuan rumah.
Ibu mengancam dengan suara tinggi sambil menatap tajam wajah sang buah hati,”Aldo, kembalikan taplaknya!”
Tanpa peduli Aldo meneruskan aktifitasnya, berimajinasi terbang layaknya Superman. Sementara sang Ibu meneruskan teguran kerasnya pada Aldo. Aldo juga semakin cuek. Akhirnya, sang ibu meraih tangan Aldo dengan keras.
“Nggak! Nggak mau…!” Aldo berusaha menarik tangannya sambil membalas tatapan ibunya dengan marah.
Melihat suasana yang semakin tegang, Bu Iffah berinisiatif menengahi, “Ndak…, Aldo ndak nakal kok. Aldo anak shalih, anak pinter. Sudahlah Bu, biarkan saja. Aldo anak yang bertanggung jawab, kok. Ntar pasti taplaknya dikembalikan lagi ke meja kalo udah bosen maennya. Bukan begitu ya, sayang?”
Sungguh sebuah komentar yang menyejukkan, menenangkan, dan membuat Aldo merasa aman. Mendadak emosi Aldo reda. Sejurus kemudian dia membuka ikat taplak meja di lehernya lalu mengembalikannya.

Membangun Motivasi Anak dengan memberikannya Kepercayaan


            Respon positif yang ditunjukkan Aldo adalah berkat kepercayaan yang diberikan Bu Iffah kepadanya. Sebutan anak yang bertanggung jawab dan keyakinan akan mengembalikan taplak meja ke tempatnya benar-benar membuat Aldo bersemangat untuk berbuat sesuai persangkaan itu. Kepercayaan yang ia terima telah menumbuhkan sebuah energi dan motivasi untuk menjaga kepercayaan tersebut!
            Prasangka merupakan salah satu wujud kepercayaan. Prasangka baik (husnudzdzan) menunjukkan adanya kepercayaan, sebaliknya prasangka buruk (suudzdzan) menunjukkan ketiadaan kepercayaan. Hal ini menimbulkan perasaan benci, terhina, dan keinginan untuk meneruskan perbuatannya seperti yang disangkakan itu.

Membangun Sikap Husnudzon


            Berprasangka baik kepada anak yang berperilaku baik merupakan pekerjaan mudah. Akan tetapi membangun prasangka baik terhadap anak yang bertingkah buruk, bagaimana memulainya? Keragu-raguan seperti inilah yang membuat ibu Aldo sulit berprasangka baik kepada Aldo. Sebab si anak aktif itu memang sudah sering membuat masalah di mana saja, dan kapan saja. Aldo benar-benar (pembuat masalah) trouble maker bagi ibunya. Astaghfirullah!
            Untuk menghilangkan keragu-raguan ini, orang dewasa sebaiknya meninjau kembali tentang hal-hal yang berkaitan dengan terbentuknya karakter anak, yaitu:

Kesatu, hendaknya diyakini bahwa setiap anak dilahirkan dalam fitrah yang bersih seperti kertas putih. Orang tuanyalah yang paling banyak berperan mengarahkannya, menjadikan anak yang berkarakter baik atau buruk. Karena itu, berhati-hatilah dalam memberikan contoh/teladan. Sengaja atau tidak, selalu ada efek negatif maupun positif.  Siapa saja dalam pantauan si kecil selalu terekam dengan baik, ibu yang sering mengomelinya, ayah yang sering menjewernya, nenek yang sering membelikannya jajanan, dan sebagainya.
Kedua, Lingkungan juga turut mewarnai terbentuknya karakter buah hati. Tetangga, media massa, teman sekolah mereka, teman bermain di rumah, bahkan penjual tahu tempe keliling yang tiap pagi mampir ke rumah bisa menjadi teladannya. Semuanya mengharuskan orang tua memberi penjelasan , mengarahkan perilaku meniru agar yang diteladaninya hanyalah kebaikan saja.
Alangkah indah andai masyarakat ini tertata sesuai aturan Alah. Atmosfir iman menyelimuti bumi, hingga tiap teladan adalah baik. Tentu amat mudah bagi ibu membangun husnudzdzan pada buah hati, sekalipun dia trouble maker.
Ketiga, Menyadari sepenuhnya bahwa proses berpikir anak belumlah sempurna. Mengindera, mengaitkan dengan pesan ibu dan ayah, lalu membuat kesimpulan. Muncul ungkapan polosnya, keluar tingkahnya yang kadang menjengkelkan bagi kita. Jika pesan ibu atau ayah salah, ungkapan maupun perilakunya menjadi keliru.
Proses berpikir anak yang belum sempurna ini menjadikan orang tua hendaknya tidak pernah bosan untuk menanamkan pesan-pesan kebaikan saja, sampaikan dengan menarik dan di saat yang tepat, hargai kemanusiaan buah hati. Ia sebenarnya mudah tersinggung, marah, merasa tak dihargai walaupun tak terungkap baik dengan kata-katanya. Adanya tangisan dan perilaku buruknya, membuktikan semuanya.
            Pesan siapa yang lebih berpengaruh bagi buah hati, bergantung mana pesan yang paling menarik.,mana pesan yang disampaikan dengan menampakkan kasih sayang, mana pesan yang menghargai kemanusiaannya. Bukankah si kecil buah hati juga manusia? Ia ingin eksis, ingin dihargai, ingin disayang, ingin diakui kemampuannya, ingin juga diberi kepercayaan oleh manusia dewasa. Pengelolaan terhadap naluri-naluri buah hati mestilah tepat. Agar terpenuhi sebagaimana dikehendaki Allah, tak melanggar misi hidupnya di dunia, yaitu hidup ini hanya ditujukan semata untuk meraih ridho-Nya.
             Nah, ibu, tunggu apalagi? Sekaranglah saatnya untuk senantiasa menanamkan husnudzdzan walaupun pada si trouble maker agar kelak dia menjadi problem solver. Wallahu ‘alam bisshawab.

Rujukan:
Istadi, Irawati, Mendidik dengan Cinta, Bekasi: Pustaka Inti, 2006
Salamah, Ridha, Menjadi Orang Tua Sejati, Jakarta: Wadi Press, 2005

Tidak ada komentar: