Beranda

Selasa, 26 Februari 2013

Husnudzon pada Buah Hati


Aldo, bocah 4 tahun yang superaktif itu asyik berlari kesana kemari mengitari ruangan. Tangannya terulur ke depan mirip Superman. Sesekali dia berhenti untuk menghadapi ‘lawannya’. Hiaat…hiiaaat! Berikutnya dia berlari lagi ke ruang dalam. Ups, ternyata dia menemukan taplak meja. Oh…hoo, taplak itu diikatkan ke lehernya, jadilah Superman.
Tentu saja, ulahnya itu membuat malu dan jengkel ibunya yang sedang bertamu ke rumah Bu Iffah. Mulanya sang ibu membiarkan Aldo bebas bertingkah, tetapi sekarang tidak. Suara Aldo sudah cukup mengganggu perbincangan ibu dan tuan rumah.
Ibu mengancam dengan suara tinggi sambil menatap tajam wajah sang buah hati,”Aldo, kembalikan taplaknya!”
Tanpa peduli Aldo meneruskan aktifitasnya, berimajinasi terbang layaknya Superman. Sementara sang Ibu meneruskan teguran kerasnya pada Aldo. Aldo juga semakin cuek. Akhirnya, sang ibu meraih tangan Aldo dengan keras.
“Nggak! Nggak mau…!” Aldo berusaha menarik tangannya sambil membalas tatapan ibunya dengan marah.
Melihat suasana yang semakin tegang, Bu Iffah berinisiatif menengahi, “Ndak…, Aldo ndak nakal kok. Aldo anak shalih, anak pinter. Sudahlah Bu, biarkan saja. Aldo anak yang bertanggung jawab, kok. Ntar pasti taplaknya dikembalikan lagi ke meja kalo udah bosen maennya. Bukan begitu ya, sayang?”
Sungguh sebuah komentar yang menyejukkan, menenangkan, dan membuat Aldo merasa aman. Mendadak emosi Aldo reda. Sejurus kemudian dia membuka ikat taplak meja di lehernya lalu mengembalikannya.

Membangun Motivasi Anak dengan memberikannya Kepercayaan


            Respon positif yang ditunjukkan Aldo adalah berkat kepercayaan yang diberikan Bu Iffah kepadanya. Sebutan anak yang bertanggung jawab dan keyakinan akan mengembalikan taplak meja ke tempatnya benar-benar membuat Aldo bersemangat untuk berbuat sesuai persangkaan itu. Kepercayaan yang ia terima telah menumbuhkan sebuah energi dan motivasi untuk menjaga kepercayaan tersebut!
            Prasangka merupakan salah satu wujud kepercayaan. Prasangka baik (husnudzdzan) menunjukkan adanya kepercayaan, sebaliknya prasangka buruk (suudzdzan) menunjukkan ketiadaan kepercayaan. Hal ini menimbulkan perasaan benci, terhina, dan keinginan untuk meneruskan perbuatannya seperti yang disangkakan itu.

Membangun Sikap Husnudzon


            Berprasangka baik kepada anak yang berperilaku baik merupakan pekerjaan mudah. Akan tetapi membangun prasangka baik terhadap anak yang bertingkah buruk, bagaimana memulainya? Keragu-raguan seperti inilah yang membuat ibu Aldo sulit berprasangka baik kepada Aldo. Sebab si anak aktif itu memang sudah sering membuat masalah di mana saja, dan kapan saja. Aldo benar-benar (pembuat masalah) trouble maker bagi ibunya. Astaghfirullah!
            Untuk menghilangkan keragu-raguan ini, orang dewasa sebaiknya meninjau kembali tentang hal-hal yang berkaitan dengan terbentuknya karakter anak, yaitu:

Kesatu, hendaknya diyakini bahwa setiap anak dilahirkan dalam fitrah yang bersih seperti kertas putih. Orang tuanyalah yang paling banyak berperan mengarahkannya, menjadikan anak yang berkarakter baik atau buruk. Karena itu, berhati-hatilah dalam memberikan contoh/teladan. Sengaja atau tidak, selalu ada efek negatif maupun positif.  Siapa saja dalam pantauan si kecil selalu terekam dengan baik, ibu yang sering mengomelinya, ayah yang sering menjewernya, nenek yang sering membelikannya jajanan, dan sebagainya.
Kedua, Lingkungan juga turut mewarnai terbentuknya karakter buah hati. Tetangga, media massa, teman sekolah mereka, teman bermain di rumah, bahkan penjual tahu tempe keliling yang tiap pagi mampir ke rumah bisa menjadi teladannya. Semuanya mengharuskan orang tua memberi penjelasan , mengarahkan perilaku meniru agar yang diteladaninya hanyalah kebaikan saja.
Alangkah indah andai masyarakat ini tertata sesuai aturan Alah. Atmosfir iman menyelimuti bumi, hingga tiap teladan adalah baik. Tentu amat mudah bagi ibu membangun husnudzdzan pada buah hati, sekalipun dia trouble maker.
Ketiga, Menyadari sepenuhnya bahwa proses berpikir anak belumlah sempurna. Mengindera, mengaitkan dengan pesan ibu dan ayah, lalu membuat kesimpulan. Muncul ungkapan polosnya, keluar tingkahnya yang kadang menjengkelkan bagi kita. Jika pesan ibu atau ayah salah, ungkapan maupun perilakunya menjadi keliru.
Proses berpikir anak yang belum sempurna ini menjadikan orang tua hendaknya tidak pernah bosan untuk menanamkan pesan-pesan kebaikan saja, sampaikan dengan menarik dan di saat yang tepat, hargai kemanusiaan buah hati. Ia sebenarnya mudah tersinggung, marah, merasa tak dihargai walaupun tak terungkap baik dengan kata-katanya. Adanya tangisan dan perilaku buruknya, membuktikan semuanya.
            Pesan siapa yang lebih berpengaruh bagi buah hati, bergantung mana pesan yang paling menarik.,mana pesan yang disampaikan dengan menampakkan kasih sayang, mana pesan yang menghargai kemanusiaannya. Bukankah si kecil buah hati juga manusia? Ia ingin eksis, ingin dihargai, ingin disayang, ingin diakui kemampuannya, ingin juga diberi kepercayaan oleh manusia dewasa. Pengelolaan terhadap naluri-naluri buah hati mestilah tepat. Agar terpenuhi sebagaimana dikehendaki Allah, tak melanggar misi hidupnya di dunia, yaitu hidup ini hanya ditujukan semata untuk meraih ridho-Nya.
             Nah, ibu, tunggu apalagi? Sekaranglah saatnya untuk senantiasa menanamkan husnudzdzan walaupun pada si trouble maker agar kelak dia menjadi problem solver. Wallahu ‘alam bisshawab.

Rujukan:
Istadi, Irawati, Mendidik dengan Cinta, Bekasi: Pustaka Inti, 2006
Salamah, Ridha, Menjadi Orang Tua Sejati, Jakarta: Wadi Press, 2005

Kamis, 21 Februari 2013

Kondisi Jalan Buruk: Cerminan Buruknya Layanan Publik Sistem Demokrasi

Oleh : Maiyesni Kusiar
(Lajnah Mashlahiyah Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia)

Kerusakan jalan-jalan di Indonesia merupakan  pemandangan yang sudah biasa. Kondisi tersebut tidak hanya terjadi di pedesaan yang jauh dari pusat pemerintahan bahkan  juga terdapat di Jakarta sebagai kota pusat pemerintahan.  Kondisi jalan ini semakin parah jika datang musim penghujan. Seperti saat ini, Data Dinas Pekerjaan Umum (PU) DKI Jakarta menyebutkan, sejak awal Januari, terdapat 6.464 titik jalan rusak dengan luas 2.747.801 meter persegi. Rinciannya antara lain, Jalan Kramat Raya, Jalan Suprapto, Jalan Gunung Sahari, Jalan Pegangsaan Dua, Jalan Panjang, Jalan Daan Mogot, Jalan Budi Raya, Jalan Palmerah Utara, Jalan Cendrawasih, Jalan Ciledug, Jalan Pattimura, Jalan Sisingamangaraja, Jalan Dewi Sartika, Jalan Otista, Jalan UP Panjaitan, dan Jalan I Gusti Ngurah Rai. Diperkirakan, jumlah tersebut masih akan bertambah karena puncak musim penghujan diprediksi masih akan terjadi hingga Februari nanti. (INILAH.COM/14/1/13).
Kondisi yang tidak jauh berbeda terjadi pada jalan penghubung antara Jakarta dan Kota-Kota Satelit (Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi) di sekitarnya. Sebagian besar jalan rusak berupa jalan berlubang, amblas, retak berlubang, dan jalan yang bergelombang. Faktor penyebab rusaknya jalan antara lain mutu jalan yang buruk, buruknya drainase yang menyebabkan air mudah menggenang ketika hujan,  dan peruntukan jalan yang tidak semestinya.
Warga telah melakukan berbagai aksi keprihatinan sebagai protes terhadap buruknya insfrastruktur jalan. Berupa pemblokiran jalan, penanaman pohon pisang, memancing lele di tengah kubangan jalan, namun tanggapan pemerintah dirasa lamban dan saling melempar tanggung jawab hingga ada jalan-jalan yang bertahun-tahun tidak juga diperbaiki. Warga Kampung Rawa Denok, di  Jalan Keadilan Cipayung, Depok melakukan aksi blokir jalan dengan menanam pohon pisang dan membangun jamban di jalan yang sudah rusak. Aksi ini dilakukan sebagai protes kepada Pemerintah Kota Depok yang tak kunjung memperbaiki jalan rusak yang sudah berlangsung selama 7 tahun (Okezone, 10/4/2012)
Sistem Kapitalis Abai Terhadap Pelayanan Publik
Buruknya layanan publik seperti jalan raya bukti abainya pemerintah dalam melaksanakan tanggung-jawabnya sebagai pelayan masyarakat. Keadaan ini terjadi merupakan keniscayaan dari sistem demokrasi kapitalis yang diemban oleh pemerintah saat ini. Sistem demokrasi kapitalis meminimalkan peran negara dalam pelayanan dan sistem politik  serta birokrasi yang berbelit-belit membuat negara semakin tidak  mampu dalam melakukan pelayanan kepada rakyatnya.
Permasalahan jalan tidak terlepas dari pembahasan tiga hal, yakni penganggaran dan perencanaan jalan, pelaksanaan peruntukan jalan, dan mekanisme kewenangan pengelolaan jalan. Pertama, perbaikan jalan tergantung anggarannya. Dr. Ir. Hedy Rahadian, Msc, Kepala Sub Direktorat Teknik Jalan Departemen Pekerjaan Umum, Dirjen Bina Marga  mengatakan Kementerian PU butuh Rp 147 triliun dalam 5 tahun namun saat ini masih belum sepenuhnya dapat anggaran tersebut (http://www.otomotifnet.com/20Juli/2012). Akibatnya hampir diseluruh jalan di wilayah Indonesia kondisi jalannya buruk tidak dapat diperbaiki secara penuh . Sebagaimana yang dikeluhkan Kepala Bidang Perencanaan dan Pengawasan Teknik, Direktorat Jenderal Bina Marga, Balai Besar Pelaksana Jalan Nasional IV Kemenpu Didik Rudjito, perbaikan jalan negara yang ada di Jakarta yang merupakan tanggungjawab Kementerian Pekerjaan Umum (Kemenpu) hanya sepanjang 12,9 km dari total panjang negara di Jakarta sepanjang 142,65 km. Perbaikan jalan secara keseluruhan tidak bisa dilakukan karena anggaran yang sebelumnya diajukan Kemenpu tidak disetujui Badan Anggaran DPR RI (Suara pembaharuan, 15/2/12).
Pengalokasian anggaran pun harus melalui proses panjang, sehingga perbaikan jalan terkesan lama. Penganggaran proyek perbaikan jalan mengikuti penetapan anggaran tahunan kemudian dilanjutkan dengan pelaksanaan lelang proyek yang biasanya dilakukan pertengahan tahun membuat pembangunan jalan praktis dimulai pada akhir tahun. Dana yang keluar pada musim penghujan membuat kualitas aspal tidak cukup bagus.
Kedua, kerusakan jalan terkait konsistensi pelaksanaan peraturan pemakaian jalan, seperti jumlah muatan kendaraan maupun stratifikasi jalan. Stratifikasi jalan 1, 2, dan 3 tergantung pada kapasitas kendaraan, tetapi hal ini sering dilanggar. Seperti truk kelebihan muatan tidak pernah diturunkan muatannya di pos penimbangan jalan demikian juga pada stratifikasi jalan ketiga yang berada di daerah perumahan tetapi masih dilewati truk dan bus, sehingga jalan tersebut cepat rusak.
Disamping itu menurut Departemen Perhubungan (Dephub) kerusakan jalan yang terjadi belakangan ini bukan hanya akibat kelebihan muatan dan bencana alam. Kerusakan justru lebih banyak disebabkan oleh konstruksi jalan yang tidak memenuhi standar. Baik menyangkut kepadatan tanah, beton, dan aspal. Kerusakan lain adalah akibat sistem pengendalian air (drainase) .
Ketiga, mekanisme kewenangan pengelolaan merupakan hal penting bagi efektifitas pengelolaan jalan. Di Indonesia persoalan kewenangan memperbaiki jalan terkotak-kotak. Dalam satu wilayah atau kota, penyelenggara dan penanggungjawab perawatan dan perbaikan jalan bisa berbeda-beda tergantung status jalan. Pembagian jalan mengikuti status jalan nasional, provinsi, dan kabupaten/kota inilah yang sering membuat nasib jalan terkatung-katung karena lemahnya koordinasi dan beban anggaran yang diluar kemampuan penyelenggara jalan.
Ketika mendapat pengaduan dari publik, pemerintah dapat saling melempar tanggung jawab meskipun dalam wilayahnya. Seperti Jalan Soekarno Hatta di Kota Mamuju Provinsi Sulawesi Barat rusak parah dan butuh diperbaiki pemerintah.  Jalan nasional Soekarno Hatta itu sudah rusak empat tahun terakhir dan tidak pernah mendapat perhatian dari pemerintah dengan memperbaikinya.”Balai Jalan Nasional Sulawesi maupun pemerintah di Provinsi Sulbar serta Pemerintah Kabupaten Mamuju saling lempar tanggung jawab untuk memperbaiki jalan itu, sehingga kini kondisi jalan itu semakin rusak (Antara News,26/1/2013)
Sistem Khilafah : Memberikan Pelayanan publik  Berkualitas
Sistem transportasi yang terintegrasi telah lama dimiliki umat Islam. Jalan-jalan dibangun secara terencana. Menghubungkan ibu kota kekhalifahan dengan kota-kota lain. Selain itu, berfungsi pula menopang kegiatan komersial, sosial, administratif, militer, dan sejumlah hal lainnya. Hal ini tidak terlepas dari sistem politik islam yang diterapkan Daulah Khilafah saat itu yang memiliki keunggulan yaitu hukum berasal dari Allah SWT sehingga bersifat  pasti dan struktur pemerintahan sederhana dimana Khalifah memiliki kekuasaan penuh sehingga  pemerintahan berjalan efektif dan efisien. Pada akhirnya menciptakan atmosfir ketaqwaan yang kuat pada diri penguasa dan aparatnya.  Lahirnya tanggung-jawab dan empati yang tinggi terhadap persoalan masyarakat, dan bersikap antisipatif dalam segala hal yang akan memudharatkan masyarakat. Hal ini terlihat dari ungkapan khalifah  Umar Bin Khatab “Seandainya seekor keledai terperosok di Kota Baghdad karena jalanan rusak, aku sangat khawatir karena pasti akan ditanya oleh Allah SWT, ‘Mengapa kamu tidak meratakan jalan untuknya?’.
Sistem politik Khilafah menyediakan layanan publik yang berkualitas dalam hal ini penyediaan infrastuktur jalan maupun jembatan dengan 5 indikator pelayanan yaitu memiliki aksesibilitas, mobilitas, keselamatan, kecepatan dan kenyamanan dapat dilakukan karena : Pertama, mengenai anggaran.  APBN Khilafah tidak dibuat dan disahkan setiap tahun karena pos pendapatan dan pengeluarannya telah ditetapkan oleh syariah. Sebagai contoh, pada pengeluaran terdapat pos pembiayaan untuk kemaslahatan dan perlindungan umat yang apabila pos tersebut tidak ditunaikan dapat menimbulkan dhahar, termasuk di dalam pos pembiayaan kemaslahatan ini adalah perbaikan jalan umum.
Kedua, kewenangan pengelolaan jalan. Kewenangan pengelolaan jalan Khilafah tidak terkotak-kotak sebagai jalan nasional-provinsi-kabupaten. Satu wilayah diurus oleh satu penanggungjawab, sehingga publik tidak dipingpong ketika melakukan pengaduan maupun meminta pertanggungjawaban penguasa ketika jalan rusak. Penyelenggara jalan hanyalah satu, yakni Wali/Amil Wilayah yang diangkat oleh Khalifah. Wali/Amil dalam melaksanakan kemashlahatan umat dibantu secara teknis oleh diwan kemashlahatan umum.
Ketiga, peraturan mengenai pemakaian jalan. Khalifah memiliki hak untuk mengatur urusan rakyat. Khalifah berhak melegislasi hal-hal mubah yang diperlukan untuk memudahkan pengaturan urusan rakyat. Hal-hal yang ditetapkan oleh penguasa otomatis menjadi undang-undang yang wajib secara syar’i dijalankan dan ditaati semua pihak terkait. Misalnya mengenai pembagian pengaturan stratifikasi jalan 1, 2, dan 3 tergantung dari kapasitas kendaraan. Disamping karena faktor keimanan rakyat dan aparat untuk menaati ketetapan hukum penguasa, keberadaan Al-Muhtasib atau qadhi hisbah memeriksa dalam perkara yang termasuk hak umum tanpa menunggu adanya tuntutan termasuk perkara yang menjamin dijalankannya ketetapan tersebut. Sehingga  penggunaan jalan sesuai peruntukkannya akan menjaga keawetan jalan tersebut.
Dengan demikian jelaslah sudah bahwa permasalahan buruknya infrastruktur jalan yang terdapat hampir di seluruh wilayah Indonesia mulai dari pedesaan yang dari pusat pemerintahan sampai Jakarta sebagai Ibu Kota Republik Indonesia akibat penerapan Sistim Demokrasi Kapitalis.[]

Selasa, 19 Februari 2013

Menjadikan Hati Tunduk terhadap Al Qur'an

                         


Oleh: Rokhmat S. Labib, M.E.I.
Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan al-Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik (TQS al-Hadid [57]: 16).
            Seluruh isi Alquran adalah petunjuk jalan dari Allah SWT bagi manusia. Di dalamnya juga terdapat nasihat dan peringatan, berita gembira dan ancaman. Maka sudah selayaknya, kita wajib mengikutinya. Dan sebaliknya, tidak layak bersikap sebaliknya sebagaimana dilakukan Ahli Kitab. Inilah perkara yang ditegaskan oleh ayat ini.
 Hatinya Tunduk kepada Kebenaran
          Allah SWT berfirman: Alam ya`ni li al-ladzîna âmanû an takhsya’a qulûbuhum li dzikril-Lâh (belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah). Setidaknya ada dua penjelasan tentang untuk siapa ayat ini diturunkan.
Pertama, untuk orang-orang munafik. Yakni orang-orang yang menampakkan diri sebagai orang Mukmin namun menyembunyikan kekufurun dalam hatinya. Di antara yang berpendapat demikian adalah al-Sudi dan lainnya.
Kedua, untuk kaum Mukminin secara umum. Pendapat ini dipilih oleh al-Syaukani dan lain-lain. Pendapat ini didasarkan beberapa riwayat. Di antaranya adalah hadits riwayat Ibnu Mardawaih dari Aisyah yang berkata, “Rasulullah SAW keluar pada sekelompok sahabatnya di dalam masjid yang sedang tertawa. Beliau  pun menarik selendangnya dan wajahnya merah seraya bersabda: “Apakah kalian tertawa sedangkan belum datang kepada kalian jaminan dari Tuhan kalian bahwa Dia telah mengampuni kalian? Sungguh telah turun kepadaku sebuah ayat tentang tertawamu: Alam ya`ni li al-ladzîna âmanû an takhsya’a qulûbuhum li dzikril-Lâh. Kemudian mereka bertanya, “Apakah kaffarah atas perbuatan tersebut?” Beliau menjawab: Kalian menangis semampu kalian dalam tertawa.
Dalam ayat ini, mereka diserukan untuk segera menata hati mereka agar tunduk terhadap peringatan Allah SWT. Disebutkan: alam ya`ni. Artinya: alam ya`ti waqtuhu (belum tibakah waktunya). Dijelaskan al-Syinqithi, bentuk istifhâm (kalimat tanya) seperti ini berguna sebagai li al-taqrîr (untuk menetapkan). Pihak yang diseru dibawa menetapkannya seraya berkata: balâ (ya). Perkara yang ditetapkan disebutkan dalam frasa selanjutnya: an takhasya’a qulûbuhum lidzikril-Lâh wa mâ nazala min al-haqq.
Dijelaskan al-Qurthubi, kata an takhsy’a bermakna tadzillu wa talînu (merasa rendah dan menjadi sangat lembut). Ibnu ‘Abbas sebagaimana dikutip al-Thabari memaknainya sebagai tuthî’u qulûbuhum (hati mereka taat). Sikap hati tersebut dilakukan terhadap dzikril-Lâh wa mâ nazala min al-haqq.
Kata dzikril-Lâh berarti wa’zhihi wa irsyâdihi (nasihat dan petunjuk-Nya). Demikian al-Zuhaili dalam tafsirnya. Sedangkan wa mâ nazala min al-haqq (dan kepada kebenaran yang telah turun [kepada mereka]). Yang dimaksud dengan kebenaran yang diturunkan itu adalah Alquran. Demikian penjelasan para mufassir seperti al-Thabari, al-Syaukani, al-Baghawi, al-Alusi, al-Qinuhi, al-Jazairi, dan lain-lain. Bahkan menurut al-Zamakhsyari dan al-nasafi, dzikril-Lâh dan wa mâ nazala min al-haqq menunjuk kepada stau obyek, yakni Alquran. Sebab, Alquran mencakup untuk dua perkara: al-dzikr wa al-maw’izhah (peringatan dan nasihat).
Dengan demikian, ayat ini berisi dorongan dan celaan. Demikian Ibnu ‘Athiyyah dalam tafsirnya.  Yakni, memerintahkan kepada kaum Mukminin agar segera menata hatinya agar tunduk, takut, dan lunak terhadap peringatan dan nasihat-Nya sekaligus memberikan celaan terhadap yang bersikap sebaliknya. Sikap yang sama juga diperintahkan dilakukan terhadap Alquran dengan mau mendengarnya, memahaminya, menaatinya, dan melaksanakan.

Tidak Keras Hati Seperti Ahli Kitab
          Setelah mereka diperintahkan untuk menjadikan  hati mereka tunduk terhadap peringatan Allah SWT dan Alquran, kemudian diperintahkan untuk tidak mengikuti jejak kaum Ahi Kitab. Allah SWT berfirman: Walâ yakûnû ka al-ladzîna ûtû al-Kitâb min qabl (dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan al-Kitab kepadanya). Yang dimaksud dengan orang-orang yang telah diberikan kitab sebelumnya adalah Yahudi dan Nasrani. Allah SWT menurunkan untuk mereka kitab Taurat dan Injil. Umat Islam dilarang menyerupai mereka.
Kemudian disebutkan tentang tabiat buruk mereka yang tidak boleh diikuti dalam frasa selanjutnya: Fathâla ‘alayhim al-amadu faqasat qulûbuhum (kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras). Pengertian fathâla ‘alayhim al-amadu adalah telah berlalu lama antara mereka dengan para nabi mereka. Demikian penjelasan al-Syaukani.
Ketika itu terjadi, maka: faqasat qulûbuhum, hati mereka pun menjadi keras. Ibnu ‘Abbas memaknai hati mereka menjadi keras sebagai cenderung kepada dunia dan berpaling dari nasihat Allah SWT. Tak jauh berbeda, Ibnu Hayyan al-Andalusi juga mengartikannya sebagai shalabat (keras) hati mereka lantaran tidak terpengaruh untuk melakukan kebaikan dan ketaatan.
Ibnu Katsir juga memberikan penjelasan tentang ayat ini. Dikatakan oleh mufassir tersebut bahwa Allah SWT melarang kaum Mukmin menyerupai orang-orang yang telah diberi kitab terdahulu, Yahudi dan Nasrani. Ketika telah berlalu waktu yang panjang, mereka pun mengganti kitab Allah melalui tangan-tangan mereka, menjualnya dengan harga yang murah, meletakkannya di belakang punggung mereka, menerima berbagai pendapat dan perkataan yang berbeda-beda, mengikuti para tokoh mereka dalam agama mereka, bahkan menjadikan pendeta dan rahib mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah. Maka, hati mereka pun menjadi keras. Mereka tidak menerima nasihat. Hati mereka juga tidak lagi lunak dengan janji dan ancaman.
Kemudian disebutkan lagi tentang keburukan tabiat Ahli Kitab itu dengan firman-Nya: wakatsîr[un] minhum fâsiqûn (dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik). Dijelaskan juga oleh al-Syaukani, fâsiqûn  berarti khârijûn ‘an thâ’atil-Lâh (keluar dari ketaatan kepada Allah). Sebab, mereka telah meninggalkan amal yang diturunkan kepada mereka. Mereka mengubah, mengganti, dan tidak beriman dengan apa yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW. Dikatakan Ibnu Jarir al-Thabari, “Sebagian mereka yang diberikan Kitab sebelum umat Muhammah SAW adalah fasik.”
Dengan demikian, lengkap sudah keburukan kaum yang telah diberikan kitab itu. Perbuatan mereka fasik, sedangkan hati mereka mereka juga rusak. Menurut Ibnu Katsir, tabiat mereka itu sebagaimana diberitakan Allah SWT dalam firman-Nya:  (Tetapi) karena mereka melanggar janjinya, Kami kutuk mereka, dan Kami jadikan hati mereka keras membatu. Mereka suka mengubah perkataan (Allah) dari tempat-tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diperingatkan dengannya, (TQS al-Maidah [5]: 13).
Termasuk tabiat mereka adalah mengubah perkataan Allah dari tempat-tempatnya, meninggalkan amal yang diperintahkan, mengerjakan apa yang dilarang. Oleh karena itu, Allah SWT melarang kaum Mukmin menyerupai mereka, baik dalam perkara pokok maupun perkara cabang.
Demikianlah. Siapa pun yang mengaku beriman wajib menjadikan hatinya tunduk dan patuh terhadap seluruh perintah dan larangan Allah SWT, mengikuti semua nasihat dan petunjuk-Nya, dan takut terhadap semua peringatan dan ancaman-Nya. Dengan kata lain, dia wajib mengikatkan dirinya, mulai dari hati hingga perbuatannya, terhadap seluruh syariah-Nya. Tak ada yang ditinggalkan dan ditelantarkan.
Bukan berlaku sebaliknya seperti halnya Ahli Kitab yang keras hatinya dan fasik perbuatannya. Maka, sebagaimana ditegaskan Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat ini, Allah SWT melarang kaum Muslimin menyerupai mereka, baik dalam perkara ushûliyyah (pokok, dasar) maupun furû’iyyah (cabang). Belum tibakah saatnya bagi umat Islam untuk segera menerapkan seluruh syariah-Nya dan mencampakkan semua ide kufur yang diambil dari kaum Ahli Kitab dan kaum kafir lainnya? Wal-Lâh a’lam bi al-shawâb.
Ikhtisar:
  1. Umat Islam diperintahkan untuk menjadikan hatinya tunduk dan patuh terhadap Alquran
  2. Umat Islam dilarang mengikuti sikap Ahli Kitab yang keras hatinya dan fasik perbuatannya

Hukum Menerima Hadiah dari Bank


Nasabah yang mempunyai rekening di bank konvensional, haram hukumnya secara syar’i menerima hadiah dari bank itu, baik berupa uang tunai, barang (seperti mobil), ataupun bentuk-bentuk hadiah lainnya, baik hadiah langsung maupun melalui undian. Semuanya haram dan termasuk kategori riba yang merupakan dosa besar (kaba`ir).
Dalil keharamannya ada dua; Pertama, karena dalam pemberian hadiah tersebut terkandung unsur promosi/iklan kepada masyarakat. Padahal bank konvensional menjalankan muamalah riba yang diharamkan Islam, yaitu memberi bunga simpanan atau mengambil bunga pinjaman. Mempromosikan sesuatu yang haram hukumnya haram, sesuai kaidah fiqih : At taabi’ taabi’ (segala sesuatu yang menjadi ikutan/cabang dari sesuatu yang pokok, hukumnya mengikuti sesuatu yang pokok itu). Dalam hal ini masalah pokoknya adalah aktivitas riba, sedang promosi aktivitas ribawi adalah masalah cabangnya. Maka pemberian/penerimaan hadiah dari bank konvensional haram, karena termasuk mempromosikan riba yang telah diharamkan. (Yasir Thaha Ali Karawih, Al Mu’amalat al Maliyah al Mu’ashirah, hlm. 108; Imam Suyuthi, Al Asybah wa An Nazha`ir, hlm. 231; Ghamzu ‘Uyun Al Basha`ir, Juz 2/hlm. 264; Khalid bin Abdillah Al Mushlih, Al Hawafiz At Tijariyyah At Taswiqiyyah wa Ahkamuha fi Al Fiqh Al Islami, hlm. 55).
Kedua, karena pemberian hadiah itu adalah pemberian pihak yang berutang (yaitu bank) kepada pihak yang memberi hutang (yaitu nasabah yang mempunyai rekening). Pemberian ini hukumnya haram. Sebab simpanan/tabungan (wada`i’) dari nasabah di bank konvensional secara syar’i dianggap qardh (utang/pinjaman) yang diberikan nasabah kepada bank. Hubungan antara bank dan nasabah dengan demikian adalah hubungan antara pihak pemberi utang (muqridh), yaitu nasabah, dengan pihak yang berhutang (muqtaridh), yaitu bank. (Umar bin Abdil Aziz Al Matrak, Ar Riba wa Al Mu’amalat Al Mashrifiyyah fi Nazhar As Syari’ah Al Islamiyah, hlm. 345-340).
Maka dari itu, hadiah yang diberikan oleh bank konvensional termasuk riba yang diharamkan oleh nash-nash syara’, di antaranya sabda Rasulullah SAW (artinya), “Jika seseorang dari kamu memberi utang (qardh), lalu dia diberi hadiah, atau dinaikkan di atas kendaraan (milik yang berutang), maka janganlah dia menaiki kendaraan itu dan jangan pula dia menerima hadiah itu, kecuali hal itu sudah pernah terjadi sebelumnya antara pemberi utang dan yang berutang.” (HR Ibnu Majah, hadits no 2432, Juz 2/hlm. 813, dari Anas bin Malik RA).
Adapun hukum menerima hadiah bagi nasabah yang mempunyai rekening di bank syariah, ada perbedaan pendapat (khilafiyah) di antara fuqoha kontemporer menjadi dua pendapat. Pertama, membolehkan hadiah tersebut karena menganggap tak ada larangan memberi hadiah selama cara distribusi hadiahnya tak melanggar syara’. Kedua, tak membolehkan hadiah tersebut karena dianggap sikap taqlid kepada perbankan Barat. (Basim ‘Amir, Al Jawa`iz Ahkamuha Al Fiqhiyyah wa Tathbiqatuha Al Mu’ashirah, hlm. 114-115; Said Manshur, Ahkamul Hadiyyah fi Al Fiqh Al Islami, hlm. 169-170).
Menurut kami, yang rajih adalah pendapat yang mengharamkan, baik hadiah itu diberikan kepada nasabah yang mempunyai rekening tabungan (wadi’ah), maupun yang mempunyai rekening investasi (al hisabat al istitsmariyyah), seperti rekening mudharabah. Hadiah dari rekening tabungan (wadi’ah) jelas haram, sebab termasuk riba yang lahir dari qardh. Adapun hadiah dari rekening investasi (al hisabat al istitsmariyyah), sebagian ulama membolehkannya dengan syarat hadiah diambil dari modal mudharabah, bukan dari labanya. Namun kami cenderung kepada pendapat Ali As Salus yang tetap mengharamkannya. Sebab modal yang diberikan nasabah kepada bank bagaimana pun juga tetap dihukumi sebagai qardh, sehingga hadiah dari adanya qardh hukumnya tetap haram. (Ali As Salus, Mausu’ah Al Qadhaya Al Fiqhiyah Al Mu’ashirah, hlm. 160). Wallahu a’lam.

Cara Khilafah Mengatur Impor Daging

                           


Oleh: Hafidz Abdurrahman
Kegiatan impor dan ekspor merupakan bentuk perdagangan (tijârah). Di dalamnya praktik jual-beli (buyû’) dengan berbagai bentuk dan derivasinya dilakukan. Hukum jual-beli itu sendiri dengan tegas dinyatakan boleh oleh syariah, sebagaimana firman Allah SWT dalam Alquran, surat al-Baqarah: 275. Karena itu, hukum asal perdagangan, baik domestik maupun luar negeri adalah mubah, sebagaimana hukum umum perdagangan.

Hanya saja, ada perbedaan fakta, antara perdagangan domestik dengan perdagangan luar negeri. Karena Khilafah adalah negara yang menerapkan hukum Islam, baik ke dalam maupun ke luar, maka perdagangan luar negeri ini pun harus diatur dengan hukum Islam. Perdagangan luar negeri ini, dalam pandangan Islam, tidak dilihat dari aspek barang yang diperdagangkan, tetapi dilihat dari orang yang melakukan perdagangan.
Dalam hal ini, mereka bisa diklasifikasikan menurut negara asalnya, menjadi tiga: (1) Kafir Harbi, yaitu mereka yang menjadi warga negara kafir yang bermusuhan dengan negara Islam dan kaum Muslim; (2) Kafir Mu’âhad, yaitu mereka yang menjadi warga negara kafir yang mempunyai perjanjian dengan negara Islam; (3) Warga negara Islam.

Terkait dengan warga negara kafir harbi, mereka diperbolehkan melakukan perdagangan di negara Islam, dengan visa khusus, baik yang terkait dengan diri maupun harta mereka. Kecuali warga negara Israel, Amerika, Inggris, Prancis, Rusia dan negara-negara kafir harbi fi’lan lainnya, sama sekali tidak diperbolehkan melakukan perdagangan apapun di wilayah negara Islam.
Adapun warga negara kafir mu’âhad, maka boleh dan tidaknya mereka melakukan perdagangan di wilayah negara Islam dikembalikan pada isi perjanjian yang berlaku antara Khilafah dengan negara mereka. Sementara warga negara Khilafah, baik Muslim maupun non-Muslim (ahli dzimmah), mereka bebas melakukan perdagangan, baik domestik maupun luar negeri. Hanya saja, mereka tidak boleh mengekspor komoditas strategis yang dibutuhkan di dalam negeri, sehingga bisa melemahkan kekuatan negara Khilafah, dan menguatkan musuh (Lihat, Masyrû’ ad-Dustûr, pasal 157).
Perlu dicatat, bahwa kekuatan ekonomi sebuah negara, termasuk negara Khilafah, ditentukan oleh keberlangsungan sumber perekonomiannya. Dalam hal ini, tampak pada empat hal, yaitu pertanian, perdagangan, industri dan jasa. Perdagangan sebagai salah satu sumber perekonomian negara, juga memainkan peranan strategis dalam proses distribusi barang (komoditas). Perdagangan juga menjadi sarana penting dalam memediasi petani, sebagai penghasil hasil pertanian, dengan konsumen. Demikian juga produsen, sebagai penghasil hasil industri, dengan konsumen. Maka, melalui perdagangan ini, aktivitas produksi, distribusi dan konsumsi di tengah-tengah masyarakat bisa ditingkatkan.
Karena itu, dalam perdagangan, selain hukum jual-beli, Islam juga mengatur hukum lain yang terkait dengan kegiatan mediasi (wisâthah), yang pelakunya kemudian dikenal dengan makelar (broker) itu. Broker, atau dalam bahasa Arabnya, disebut Simsâr, berhak mendapatkan komisi (‘amûlah) dari hasil mediasinya. Hanya saja, Islam menetapkan posisi mereka harus benar-benar menjadi mediator antara pejual dan pembeli (wisâthah baina al-bâi’ wa al-musytari). Inilah ketentuan Islam yang mengatur tentang samsarah.

Dalam kasus impor daging sapi, sebagai komoditas yang diperdagangkan, maka yang harus dipastikan pertama-tama adalah negara asal, suplaier dan halal-haramnya komoditas tersebut. Mengimpor daging dari negara kafir harbi fi’lan, misalnya, jelas-jelas tidak boleh. Negara Khilafah juga menutup rapat-rapat pintunya dengan mereka dalam segala hal. Karena hubungan di antara keduanya adalah hubungan perang. Jika demikian, tidak mungkin, rakyat Negara Harbi fi’lan ini menjadi supliyer daging impor di Negara Khilafah. Demikian juga, rakyat Negara Khilafah melakukan hubungan dagang dengan mereka.
Selain itu, harus dicatat, bahwa perdagangan luar negeri, meski ini merupakan aktivitas ekonomi, tetapi karena terkait dengan hubungan dengan pedagang di luar wilayah negara Khilafah, maka arus orang, barang dan modal yang keluar masuk tetap di bawah kontrol Departemen Luar Negeri (Dâirah Khârijiyyah). Bagi warga negara kafir harbi hukman, arus orang, barang dan modal yang masuk ke wilayah negara Khilafah bisa terjadi setelah ada visa khusus yang terkait dengan ketiga-tiganya. Namun, ini tidak berlaku bagi kafir harbi fi’lan. Sementara bagi warga negara kafir mu’âhad, dibutuhkan visa atau tidak, kembali kepada klausul perjanjian antara negara Khilafah dengan negara mereka. Jika arus orang, barang dan modal itu tidak termaktub dalam klausul perjanjian tersebut, maka mereka membutuhkan visa khusus tadi. Semuanya ini di bawah kontrol Departemen Luar Negeri. Ini terkait dengan negara asal dan suplaiernya.
Adapun terkait dengan status halal dan haramnya, karena ini merupakan barang sembelihan (dzabîhah). Kriteria penyembelihan penting diperhatikan, karena ini menentukan status hukum kehalalannya. Jika tidak bisa dipastikan, maka daging tersebut tidak boleh diperjualbelikan, termasuk diimpor ke wilayah Negara Khilafah. Karena alasan syubhat ini, Khilafah bisa melarang impor daging ini. Jika barang syubhat ini sudah masuk di wilayah Negara Khilafah, maka qadhi Hisbah, harus meghentikan distribusi dan konsumsi daging seperti ini. Qadhi Hisbah juga bisa mengusut dari mana sumber distribusinya.
Tindakan ini harus dilakukan, karena Islam menetapkan standar halal-haram terhadap barang dan jasa yang diproduksi, didistribusikan dan dikonsumsi di tengah-tengah masyarakat. Jika terbukti haram, atau setidaknya syubhat, maka tidak boleh diproduksi, didistribusikan dan dikonsumsi.
Adapun terkait dengan praktik makelar (samsarah), d imana makelar ini bekerja menghubungkan perusahaan importir dengan pembuat kebijakan, yang dengannya makelar tersebut mendapatkan fee (komisi), sebenarnya ini menyalahi hukum Islam:
Pertama, karena dari aspek hukum samsarah itu sendiri, ini jelas-jelas menyalahi fakta samsarah. Karena broker (makelar) ini tidak menghubungkan antara pembeli dan penjual secara langsung, tetapi menghubungkan antara perusahaan importir dengan pembuat kebijakan (pemerintah).
Kedua, komisi (‘amûlah) yang diberikan oleh perusahaan importir kepada makelar, karena hubungan dekat atau politik, sebenarnya tidak bisa disebut komisi (‘amûlah), karena ini bukan aktivitas samsarah. Tetapi, apa yang disebut komisi ini lebih tepat disebut risywah (suap), yang dengannya, maka pembuat kebijakan membuat keputusan, bahwa perusahaan importir tersebut mendapatkan tender impor.
Praktik seperti ini bisa terjadi, dan dilakukan oleh politikus dari partai politik, karena memang aktivitas politik yang dilakukannya membutuhkan biaya besar. Maka, cara-cara seperti inilah yang banyak dilakukan. Bahkan, telah menjadi rahasia umum. Praktik seperti ini jelas merupakan pelanggaran hukum syara’. Tidak hanya itu, karena pelanggaran ini melibatkan nasib rakyat, di mana partai dan para penguasa itu seharusnya mengurusi urusan rakyat, malah menari di atas penderitaan rakyat, maka tindakan ini juga bisa disebut mengkhianati rakyat. Praktik seperti tidak akan terjadi di dalam negara Khilafah. Jika pun terjadi, maka negara Khilafah akan memberlakukan sanksi tegas untuk menghentikan praktik ini.
Pejebat yang terlibat, begitu terindikasi melakukan pelanggaran dan pengkhianatan seperti ini akan langsung diberhentikan oleh Khalifah. Majelis umat atau partai politik juga bisa menyampaikan syakwa (pengaduan) kepada Khalifah, jika pelanggaran dan pengkhianatan ini belum diketahui oleh Khalifah. Jika Khalifah telah mengetahuinya, tetapi mendiamkannya, maka dia bisa dianggap sama dengan pelakunya. Dalam hal ini, tugas Mahkamah Madzalim yang akan menghentikannya.
Mengenai pakta integritas yang ditandatangani pejabat, ini tidak akan ada nilainya, jika sistemnya tetap bobrok. Karena itu, pakta integritas yang dibuat dalam sistem seperti ini, tak lebih hanya sebagai upaya pencitraan semata. Terutama, setelah citra politisi dan partainya anjlok. Ini berbeda, jika sistemnya baik, maka pakta integritas tersebut akan bisa diwujudkan. Perlu dicatat, itu tidak pernah terjadi, kecuali di dalam naungan negara Khilafah. Wallahu a’lam. (.mediaumat.com, 15/2)