Aldo, bocah 4
tahun yang superaktif itu asyik berlari kesana kemari mengitari ruangan.
Tangannya terulur ke depan mirip Superman. Sesekali dia berhenti untuk
menghadapi ‘lawannya’. Hiaat…hiiaaat! Berikutnya dia berlari lagi ke ruang
dalam. Ups, ternyata dia menemukan taplak meja. Oh…hoo, taplak itu diikatkan ke
lehernya, jadilah Superman.
Tentu saja,
ulahnya itu membuat malu dan jengkel ibunya yang sedang bertamu ke rumah Bu
Iffah. Mulanya sang ibu membiarkan Aldo bebas bertingkah, tetapi sekarang
tidak. Suara Aldo sudah cukup mengganggu perbincangan ibu dan tuan rumah.
Ibu mengancam
dengan suara tinggi sambil menatap tajam wajah sang buah hati,”Aldo, kembalikan
taplaknya!”
Tanpa peduli Aldo
meneruskan aktifitasnya, berimajinasi terbang layaknya Superman. Sementara sang
Ibu meneruskan teguran kerasnya pada Aldo. Aldo juga semakin cuek. Akhirnya,
sang ibu meraih tangan Aldo dengan keras.
“Nggak! Nggak
mau…!” Aldo berusaha menarik tangannya sambil membalas tatapan ibunya dengan
marah.
Melihat suasana
yang semakin tegang, Bu Iffah berinisiatif menengahi, “Ndak…, Aldo ndak nakal
kok. Aldo anak shalih, anak pinter. Sudahlah Bu, biarkan saja. Aldo anak yang
bertanggung jawab, kok. Ntar pasti taplaknya dikembalikan lagi ke meja kalo
udah bosen maennya. Bukan begitu ya, sayang?”
Sungguh sebuah komentar yang menyejukkan,
menenangkan, dan membuat Aldo merasa aman. Mendadak emosi Aldo reda. Sejurus kemudian
dia membuka ikat taplak meja di lehernya lalu mengembalikannya.
Membangun Motivasi Anak dengan memberikannya Kepercayaan
Respon
positif yang ditunjukkan Aldo adalah berkat kepercayaan yang diberikan Bu Iffah
kepadanya. Sebutan anak yang bertanggung jawab dan keyakinan akan mengembalikan
taplak meja ke tempatnya benar-benar membuat Aldo bersemangat untuk berbuat
sesuai persangkaan itu. Kepercayaan yang ia terima telah menumbuhkan sebuah
energi dan motivasi untuk menjaga kepercayaan tersebut!
Prasangka
merupakan salah satu wujud kepercayaan. Prasangka baik (husnudzdzan)
menunjukkan adanya kepercayaan, sebaliknya prasangka buruk (suudzdzan)
menunjukkan ketiadaan kepercayaan. Hal ini menimbulkan perasaan benci, terhina,
dan keinginan untuk meneruskan perbuatannya seperti yang disangkakan itu.
Membangun Sikap Husnudzon
Berprasangka
baik kepada anak yang berperilaku baik merupakan pekerjaan mudah. Akan tetapi
membangun prasangka baik terhadap anak yang bertingkah buruk, bagaimana
memulainya? Keragu-raguan seperti inilah yang membuat ibu Aldo sulit
berprasangka baik kepada Aldo. Sebab si anak aktif itu memang sudah sering
membuat masalah di mana saja, dan kapan saja. Aldo benar-benar (pembuat
masalah) trouble maker bagi ibunya. Astaghfirullah!
Untuk
menghilangkan keragu-raguan ini, orang dewasa sebaiknya meninjau kembali
tentang hal-hal yang berkaitan dengan terbentuknya karakter anak, yaitu:
Kesatu,
hendaknya diyakini bahwa setiap anak dilahirkan dalam fitrah yang bersih
seperti kertas putih. Orang tuanyalah yang paling banyak berperan
mengarahkannya, menjadikan anak yang berkarakter baik atau buruk. Karena itu,
berhati-hatilah dalam memberikan contoh/teladan. Sengaja atau tidak, selalu ada
efek negatif maupun positif. Siapa saja
dalam pantauan si kecil selalu terekam dengan baik, ibu yang sering
mengomelinya, ayah yang sering menjewernya, nenek yang sering membelikannya
jajanan, dan sebagainya.
Kedua,
Lingkungan juga turut mewarnai terbentuknya karakter buah hati. Tetangga, media
massa, teman sekolah mereka, teman bermain di rumah, bahkan penjual tahu tempe
keliling yang tiap pagi mampir ke rumah bisa menjadi teladannya. Semuanya
mengharuskan orang tua memberi penjelasan , mengarahkan perilaku meniru agar
yang diteladaninya hanyalah kebaikan saja.
Alangkah indah
andai masyarakat ini tertata sesuai aturan Alah. Atmosfir iman menyelimuti
bumi, hingga tiap teladan adalah baik. Tentu amat mudah bagi ibu membangun
husnudzdzan pada buah hati, sekalipun dia trouble maker.
Ketiga, Menyadari
sepenuhnya bahwa proses berpikir anak belumlah sempurna. Mengindera, mengaitkan
dengan pesan ibu dan ayah, lalu membuat kesimpulan. Muncul ungkapan polosnya,
keluar tingkahnya yang kadang menjengkelkan bagi kita. Jika pesan ibu atau ayah
salah, ungkapan maupun perilakunya menjadi keliru.
Proses berpikir
anak yang belum sempurna ini menjadikan orang tua hendaknya tidak pernah bosan
untuk menanamkan pesan-pesan kebaikan saja, sampaikan dengan menarik dan di
saat yang tepat, hargai kemanusiaan buah hati. Ia sebenarnya mudah tersinggung,
marah, merasa tak dihargai walaupun tak terungkap baik dengan kata-katanya.
Adanya tangisan dan perilaku buruknya, membuktikan semuanya.
Pesan
siapa yang lebih berpengaruh bagi buah hati, bergantung mana pesan yang paling
menarik.,mana pesan yang disampaikan dengan menampakkan kasih sayang, mana
pesan yang menghargai kemanusiaannya. Bukankah si kecil buah hati juga manusia?
Ia ingin eksis, ingin dihargai, ingin disayang, ingin diakui kemampuannya,
ingin juga diberi kepercayaan oleh manusia dewasa. Pengelolaan terhadap
naluri-naluri buah hati mestilah tepat. Agar terpenuhi sebagaimana dikehendaki
Allah, tak melanggar misi hidupnya di dunia, yaitu hidup ini hanya ditujukan
semata untuk meraih ridho-Nya.
Nah, ibu, tunggu apalagi? Sekaranglah saatnya
untuk senantiasa menanamkan husnudzdzan walaupun pada si trouble maker agar
kelak dia menjadi problem solver. Wallahu ‘alam bisshawab.
Rujukan:
Istadi, Irawati, Mendidik dengan
Cinta, Bekasi: Pustaka Inti, 2006
Salamah, Ridha, Menjadi Orang
Tua Sejati, Jakarta: Wadi Press, 2005